baitijannati – Isu penindasan
terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah
satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan
penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan
negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW)
melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20
Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan
di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang
‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
‘Perjuangan’ penghapusan KDRT berangkat dari fakta
banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan
anak-anak. Hal ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional
Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai
organisasi penyedia layanan korban kekerasan. Di Provinsi Banten
misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426 perempuan yang
dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK). 90 persen diantaranya
menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja Wanita
(TKW) di luar negeri (Tempo Interaktif, 3/5/04).
Sedangkan data yang terdapat di Ruang Pelayanan
Khusus (RPK) Kepolisian Kota Bandung menunjukkan bahwa selama 2003-2004
terdapat 60 kasus kekerasan fisik terhadap perempuan. Sementara data
yang dihimpun oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
(P2TP2) Kota Bandung memperlihatkan bahwa periode Mei–Desember 2004
sudah terdapat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan perincian,
3 kasus perkosaan, 7 kasus kekerasan fisik, 26 kasus kekerasan psikis
dan penelantaran ekonomi.
Mengingat korban kekerasan yang kebanyakan berjenis
kelamin wanita itulah, para propagandis anti-KDRT beranggapan bahwa
KDRT adalah masalah gender, yakni disebabkan adanya ketidak-adilan
gender. Adanya subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai
korban kekerasan oleh pria. Dan, ajaran agama (baca: Islam) dituduh
melanggengkan budaya ini. Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya
mensubordinasikan posisi wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria
untuk memperlakukan wanita semena-mena, yang berujung pada tindak
kekerasan.
Menurut para propagandis ini, poligami dianggap
sebagai bentuk penindasan terhadap wanita karena wanita ditempatkan
pada posisi ‘nomor dua’. Menurut mereka jilbab juga merupakan bentuk
pengekangan terhadap kebebasan wanita. Perintah istri untuk taat kepada
suami pun dianggap sebagai pendorong suami untuk berbuat
sewenang-wenang dan memenjarakan wanita dalam rumah tangga. Kebolehan
memukul istri atau anak dalam rangka mendidik mereka, dituduh sebagai
penganiayaan. Ajaran sunat bagi anak perempuan juga dianggap bentuk
kekerasan fisik terhadap perempuan. Sebaliknya, bagi kaum feminis,
seorang perempuan tidak wajib untuk taat kepada suaminya, wanita tidak
boleh dikekang untuk keluar rumah, suami harus membebaskan istrinya
bekerja, pelacur dibela karena dianggap sebagai korban eksploitasi
seksual, dll.
Para propagandis beranggapan, untuk menghapuskan KDRT
maka perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri
dalam kehidupan rumah tangga haruslah seimbang, di mana istri memiliki
kewenangan yang tidak harus bersandar kepada suami. Dari sinilah maka
arah perjuangan penghapusan KDRT adalah untuk memperjuangkan hak-hak
wanita menuju gender equality.
Kekerasan = Kriminalitas
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah).
Pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan
melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan
termasuk kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah
perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum
syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan
kejahatan terhadap wanita harus distandarkan pada hukum syara’.
Disinilah kekeliruan mendasar dari kelompok Feminis,
yang menganggap kejahatan diukur berdasarkan kepada gender (jenis
kelamin) korban atau pelakunya, bukan pada hukum syara’. Mereka membela
pelacur, karena dianggap sebagai korban. Sebaliknya mereka menuduh
poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan
wanita telah menjadi korbannya.
Padahal, kejahatan bukanlah perkara gender (jenis
kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki
maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula
perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat
apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah
pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia
melanggar hukum Allah SWT atau tidak.
Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau
karena adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun
perempuan mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data
yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu
semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak
tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan
penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti-KDRT dengan
mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru
bias gender.
Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal:
Pertama, faktor individu.
Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman
terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik
individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk
melanggar hukum syara’, termasuk melakukan tindakan KDRT.
Kedua, faktor sistemik.
Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit
sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik.
Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh
berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat,
mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas
eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem
kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan.
Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi
misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat
manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan
bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri,
dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini
pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak
kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka
tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan
pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi
salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk
munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu
ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan
membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di
masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku
perzinaan yang malah dibiarkan, dll. Dari sisi sosial-budaya, gaya
hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan
berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku
penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks
disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah
memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak
kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini
akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan,
sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak pada orang-orang
berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan
kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada
derajat sangat rendah.
Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan
hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi
ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau
faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur
karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya
dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang.
Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri.
Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa
diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang
tegas dan menyeluruh.
Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang
fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula
profesi yang diusahakan oleh manusia, juga bukan penyakit yang menimpa
manusia. Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan
Allah SWT, siapapun pelakunya, baik laki-laki maupun wanita.
Sanski Pelaku Jarimah
Kekerasan terjadi baik di lingkungan keluarga maupun
di luar rumah tangga. Dan semua bentuk kriminalitas, baik di lingkup
domestik maupun publik akan mendapatkan sanksi sesuai jenis
kriminalitasnya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan. Semisal
bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa bukti, pelakunya dihukum
oleh Islam. Perkara ini termasuk dalam hukum qodzaf, dimana pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan (Qs. an-Nûr [24]: 4).
Pelacuran merupakan tindakan kriminalitas, dimana
wanita yang melakukannya akan diberikan sanksi hukum, demikian juga
lelakinya yang pezina. Islam tidak memandang apakah korban atau
pelakunya laki-laki atau perempuan. Pelacuran, bagaimanapun tetap
perbuatan tercela, tidak perduli laki-laki atau perempuan.
Sebaliknya, poligami bukanlah bentuk kekerasan
terhadap wanita karena tidak dilarang oleh syariat Islam. Tapi
menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka, adalah merupakan
kekerasan terhadap wanita, baik dia monogami atau poligami. Karena
memukul wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar aturan
Allah SWT.
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk
kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana pelakunya harus
diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan
kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa
laki-laki atau perempuan.
Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan
sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:
1. Qadzaf, yakni melempar tuduhan.
Misalnya menuduh wanita baik-baik berzina tanpa bisa memberikan bukti
yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali
cambukan. Hal ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang
yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5).
2. Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).
3. Mensodomi, yakni menggauli wanita
pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi.
Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.
4. Penyerangan terhadap anggota tubuh.
Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta),
tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah
dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta),
satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat,
luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor
unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta,
luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
5. Perbuatan-perbuatan cabul seperti
berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai
melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan
pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya,
seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal
6. Penghinaan. Jika ada dua orang
saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang
faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun
(lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).
Jarimah vs Ta’dib
Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan
memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu
rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli
istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak
menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya
majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk
kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi
karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).
Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga,
suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar
taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6).
Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan
dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib
ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan
pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya
diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh)
untuk memberi hukuman/pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam
keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak
memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada;
tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat
terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul
anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan,
maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul
anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10
tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah
tersebut telah menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang
dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka
mendidik.
Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau
nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit
atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya
dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan
tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di
luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti
bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami
telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat
pada syariat.
Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila
seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga
kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya:
Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ No 660, 661).
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami,
wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang,
perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Qs. al-Baqarah [2]: 228).
Relasi Suami-Istri dalam Rumah Tangga
Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks
menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah Swt. Suami dan istri harus
saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang
harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman: “Dan
orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan)
yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi
rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah [9]: 71).
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas
antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan
wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri
dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri
dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka
dengan cara yang makruf.
Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19: “Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa
yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut.
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19).
Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar
mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut
ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa
mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan
nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan
menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada
diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar
dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara
yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.
Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari
perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam,
niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk
rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan
karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam,
dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Wallahu’alam bi shawab.
Written by : Asri Supatmiati
https://baitijannati.wordpress.com/2007/02/02/pandangan-islam-terhadap-kekerasan-dalam-rumah-tangga/