Candi Sukuh: Keunikan Candi Hindu Terakhir dari Masa Majapahit
Candi ini dijuluki sebagai The Last Temple karena hingga saat
ini perkirakan sebagai candi terakhir yang dibangun sebelum kerajaan
Hindu Majapahit di Jawa Tengah memudar perannya. Anda akan temukan candi
ini di ketinggian 1.186 mdpl, berlokasi di lereng barat Gunung Lawu,
Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Ngargoyoso, Karanganyar. Candi ini berjarak
sekitar 20 km dari kota Karanganyar dan 36 km dari Surakarta.
Candi
Sukuh merupakan salah satu candi paling menarik di Asia Tenggara.
Uniknya karena di candi ini terdapat beberapa ornamen erotis simbol sex
manusia. Beberapa patung dan arca menggambarkan lingga sebagai perwujudan kemaluan pria dan yoni sebagai perwujudan kemaluan wanita.
Bangunannya
pun berbeda dari kebanyakan candi di Indonesia karena candi ini mirip
piramid Suku Maya di Mexico atau Inca di Peru. Jika candi-candi lain di
Jawa Tengah
dibangun dengan bentuk yang menyimbolkan Gunung Meru maka Candi Sukuh
memiliki tampilan sederhana berbentuk trapesium. Batu-batuan di candi
ini berwarna agak kemerahan berupa batuan jenis andesit.
Candi
Sukuh adalah candi agama Hindu yang dibangun akhir abad ke-15 M. Candi
ini berbeda arsitekturnya dari umumnya candi Hindu di Jawa Tengah.
Arsitektur Candi Sukuh tidak mengikuti ketentuan kitab pedoman pembuatan
bangunan suci Hindu “Wastu Widya”. Menurut ketentuan kitab tersebut,
sebuah candi harus berdenah dasar bujur sangkar dengan tempat yang
paling suci terletak di tengah. Adanya penyimpangan tersebut diduga
karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya pengaruh Hindu di Jawa
dan menghidupkan kembali unsur-unsur budaya setempat dari zaman
Megalitikum. Pengaruh zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan
Candi Sukuh yang merupakan teras berundak. Bentuk semacam itu mirip
dengan bangunan punden berundak yang merupakan ciri khas bangunan suci
pada masa pra-Hindu. Ciri khas lain bangunan suci dari masa pra-Hindu
adalah tempat paling suci terletak di bagian paling tinggi dan paling
belakang.
Teori lain tentang candi ini menyebutkan merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab “Adiparwa”, yaitu
kitab pertama Mahabharata. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong
melambangkan Gunung Mandaragiri dan dipergunakan untuk mengaduk-aduk
lautan mencari tirta amerta yang bisa memberikan kehidupan abadi bagi
siapapun yang meminumnya.
Candi Sukuh diperkirakan dibangun untuk tujuan pengruwatan,
yaitu menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang mempengaruhi
kehidupan seseorang akibat ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan
tersebut didasarkan pada relief-relief yang memuat cerita-cerita
pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, serta pada arca kura-kura dan garuda yang terdapat di candinya.
Arkeolog
Belanda W.F. Stutterheim pada tahun 1930 menjelaskan kemungkinan
pemahat Candi Sukuh adalah bukan seorang tukang batu melainkan tukang
kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Candi dibuat seakan
tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Hal ini terlihat dari relief yang
masih kasar dan sederhana. Ada dugaan ini disebabkan karena keadaan
politik kala itu menjelang keruntuhannya Majapahit yang terdesak
pengaruh Islam dari Demak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan untuk
membuat candi yang besar dan megah. Akan tetapi, meski demikian candi
ini menyimpan keunikan yang berharga sebagai salah satu warisan budaya
Indonesia.
Candi Sukuh ditemukan kembali oleh Residen Johnson
yang merupakan bawahan Sir Thomas Stamford Bingley Raffles. Ia ditugasi
gubernur jenderal ini untuk menghimpun data untuk penyusunan buku “History of Java” tahun 1815.
Berikutnya
tahun 1842, Van der Vlis, seorang peneliti Belanda melakukan riset dan
memugar candi ini. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam bukunya “Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto”. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans tahun 1864-1867 dan dilaporkan dalam bukunya “Hindoe Oudheiden van Java”. Tahun 1889, Verbeek mengadakan inventarisasi terhadap Candi Sukuh,
dilanjutkan penelitian Knebel dan WF. Stutterheim tahun 1910. Pemugaran
Candi Sukuh dilakukan oleh Dinas Purbakala tahun 1917. Pada akhir tahun
1970-an. Candi Sukuh mengalami pemugaran kembali oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Di
kawasan Candi Sukuh Anda tidak hanya sekedar berjalan-jalan di lereng
gunung yang sejuk sambil menikmati candi terakhir yang dibangun dari
masa Majapahit ini. Anda juga dapat berkeliling menapaki jejak cerita
dari masa lalu sambil coba menguak misteri sejarahnya karena ini akan
menjadi salah satu pengalaman wisata yang mengasyikkan. Berbagai misteri
dan pertanyaan masih menyelimuti Candi Sukuh.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan dan keunikan sekaligus. Anda akan mendapatkan pengalaman lain yang berbeda dibandingkan saat mengunjungi candi-candi lainnya di Jawa Tengah seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan.
Candi Sukuh berada di areal sekitar 5.500 m². Candi ini terdiri dari terdiri atas tiga teras bersusun mirip piramida Maya di Meksiko atau Inca di Peru. Saat Anda memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar maka akan melihat bentuk arsitektur khas yang tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Pada gapura pertama terdapat sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi ‘gapura buta abara wong’, artinya ‘gapura sang raksasa memangsa manusia’. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1, jika dibalik maka didapatkan angka tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Menuju ke teras kedua, Anda akan melewati gerbang kedua yang bentuknya sudah tidak utuh lagi. Hanya tersisa dinding gapura yang tingginya hanya sebatas tangga naik dan tidak beratap. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala namun kondisinya sudah rusak dan bentuknya tidak jelas. Pada gapura kedua terdapat sebuah candrasangkala yang dalam bahasa Jawa yang berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya “gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Di teras ketiga, gapura ketiga kondisinya sama dengan gapura kedua yang sudah tidak utuh lagi. Terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar dibuat untuk mengetes keperawanan gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan dan keunikan sekaligus. Anda akan mendapatkan pengalaman lain yang berbeda dibandingkan saat mengunjungi candi-candi lainnya di Jawa Tengah seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan.
Candi Sukuh berada di areal sekitar 5.500 m². Candi ini terdiri dari terdiri atas tiga teras bersusun mirip piramida Maya di Meksiko atau Inca di Peru. Saat Anda memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar maka akan melihat bentuk arsitektur khas yang tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Pada gapura pertama terdapat sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi ‘gapura buta abara wong’, artinya ‘gapura sang raksasa memangsa manusia’. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1, jika dibalik maka didapatkan angka tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.
Menuju ke teras kedua, Anda akan melewati gerbang kedua yang bentuknya sudah tidak utuh lagi. Hanya tersisa dinding gapura yang tingginya hanya sebatas tangga naik dan tidak beratap. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala namun kondisinya sudah rusak dan bentuknya tidak jelas. Pada gapura kedua terdapat sebuah candrasangkala yang dalam bahasa Jawa yang berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya “gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Di teras ketiga, gapura ketiga kondisinya sama dengan gapura kedua yang sudah tidak utuh lagi. Terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar dibuat untuk mengetes keperawanan gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
Karimunjawa : Keindahan Pantai Berpadu Wisata Religi
Anda yang cinta pantai maka wajib
merasakan jernihnya air laut, langit biru, awan putih, dan hawa segar
Karimunjawa. Semuanya akan menjadi milik Anda selama berada di Kepulauan
yang lokasinya sekitar 45 mil laut atau sekitar 83 kilometer di barat
laut kota Jepara. Setelahnya bersiaplah untuk enggan pulang karena
kedamaian tempat ini memberi kesan tersendiri dan sulit digantikan
tempat lain. Telah banyak wisatawan datang kembali ke pulau yang indah
ini karena ketagihan.
Karimunjawa adalah gugusan pulau yang
sangat indah dengan hamparan pasir putih menawan, meliputi 27 pulau
dalam 1 kecamatan dan terbagi dalam 3 desa. Luas tempat indah ini adalah
107.225 ha, sebagian besar wilayahnya berupa lautan (100.105 ha)
sementara sisanya adalah daratan seluas 7.120 ha.
Ada bentangan pantai berpasir putih di sini dengan beragam fauna yang menakjubkan, juga hutan mangrove dan hutan tropis dataran rendah yang menyajikan pemandangan menyejukan mata.
Karimunjawa dijuluki Perawan Jawa,
sebuah inisial yang merujuk pada perairannya begitu bening sehingga
sebuah koin yang jatuh ke dalamnya akan dengan mudah Anda temukan karena
kejernihannya.
Taman nasional laut ini beriklim tropis
dipengaruhi angin laut yang bertiup sepanjang hari. Suhu rata-ratanya
sekitar 26-30 derajat Celcius. Karimunjawa memiliki kekayaan ekosistem
flora dan fauna mulai dari terumbu karang, hutan mangrove (Padang
Lamun), hutan pantai, hingga hutan dataran rendah. Anda dapat ber-tracking menyusuri sejuknya hutan mangrove seluas 10,5 hektar dengan jalur tracking
sepanjang 2 km yang menyuguhkan aneka macam jenis pohon mangrove langka
sekaligus Anda ikut menanam dan melestarikan mangrove di sana.
Di
bawah air Karimunjawa ada fauna akuatik yang terdiri atas 242 jenis
ikan hias dan 133 genera akuatik. Selain alam air, Anda juga dapat
menemukan bervariasi fauna seperti rusa dan kera ekor panjang di
daratnya. Karimunjawa juga menjadi rumah fauna langka yaitu elang laut
dada putih di Pulau Burung dan Pulau Geleang. Hewan langka lainnya
adalah dua jenis penyu, yaitu penyu sisik dan penyu hijau.
Karimunjawa dalam cerita rakyat setempat terkait Legenda Nyamplungan dan
sosok Sunan Nyamplung (Syech Amir Hasan) yang merupakan putera Sunan
Muria. Sedari kecil, Amir Hasan hidup dimanja sehingga cenderung nakal
saat dewasa. Karena wataknya yang nakal kemudian Sunan Muria menitipkan
puteranya kepada Sunan Kudus dengan harapan menjadi lebih baik. Amir
Hasan memang berubah baik tetapi setelah berkumpul kembali dengan
keluarganya, perilaku Amir Hasan kembali seperti semula. Akhirnya Sunan Muria memerintahkan puteranya itu untuk mengamalkan ilmu agama di pulau yang terlihat kremun-kremun
(artinya tidak jelas) bila dilihat dari Gunung Muria. Amir Hasan tidak
boleh kembali ke Pulau Jawa sebelum tugasnya selesai. Ia pergi ditemani 2
orang abdi dengan berbekal 2 buah biji nyamplung untuk ditanam di pulau
tersebut dan sebuah mustaka masjid (Anda dapat menemukannya di
kompleks makam Sunan Nyamplungan). Amir Hasan menanam 2 buah biji
nyamplung yang kemudian tumbuh menjadi pohon nyamplung (Temukan
lokasinya yang sekarang menjadi Dukuh Nyamplung.
Penduduk
Karimunjawa adalah multietnis meliputi suku Jawa, Bugis Makassar, dan
Madura. Masyarakat Jawa tinggal di Dukuh Karimun, Dukuh Legon Lele,
Dukuh Nyamplungan, dan Dukuh Mrican. Mata pencaharian utama mereka
adalah bertani dan industri rumah tangga membuat batu bata merah dan
minyak kelapa. Masyarakat Bugis Makassar tinggal di Pulau Kemujan,
Dukuh Batu Lawang, Dukuh Legon Gede, dan Dukuh Tlogo. Orang Bugis ini
berprofesi sebagai nelayan. Sementara masyarakat Madura selain
berprofesi sebagai nelayan juga memiliki keterampilan membuat ikan
kering.
Hampir seluruh bagian pantai di
kepulauan Karimunjawa memiliki pasir putih dengan garis pantai yang
panjang. Ini jelas lokasi sempurna untuk mandi sinar Matahari atau
menyaksikan keindahan terbit atau terbenamnya Sang Surya di tepi
horizon.
Di sini tema wisata Anda pastinya wisata
bahari yang menawarkan berbagai kegiatan wisata dan olahraga air.
Setidaknya cobalah meminta bantuan atau petunjuk pemandu wisata Anda
untuk mencicipi salah satu kegiatan seperti menyelam, snorkeling, memancing, berenang, berjemur, atau menjelajahi lautnya yang jernih.
Di Karimunjawa Anda dapat menikmati panorama alam pantai berpasir putih dengan cakrawala biru membentang. Jangan lewatkan juga terjun ke bawah airnya untuk memandangi terumbu karang, rumput laut, dan beragam biota laut.
Apabila
Anda ingin berenang maka cobalah di sebelah timur dan selatan pulau
ini, bagian selatan, bagian barat pulau Tengah, juga barat pulau
Menjangan Kecil, atau sekitar Pulau Parang, Pulau Kembar, dan Pulau
Kumbang.
Untuk Anda yang hobi memancing maka
dapat melakukannya di sekitar pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil,
ada juga di Pulau Menyawakan, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau
Tengah, sekitar Pulau Kembar, dan sebelah barat Pulau Bengkoang.
Tempat terbaik untuk menyelam dapat Anda
lakukan di sebelah utara dan barat pulau Karimunjawa, sebelah selatan
dan barat pulau Geleang, sebelah timur pulau Menjangan Besar, sekitar
pulau Menjangan Kecil, sebelah barat pulau Bengkoang, sebelah barat
pulau parang, sebelah timur pulau Kembar, sekitar pulau Katang, sebelah
utara dan timur pulau Krakal Kecil, dan sebelah barat pulau Kumbang.
Anda yang hobi snorkeling dapat
menjajalnya di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, sebelah barat
pulau Bengkoang, sebelah utara dan timur pulau Krakal Kecil, atau di
sekitar pulau Kembar.
Apabila Anda tidak dapat berenang dan
hanya ingin menjelajah laut maka tersedia kapal yang dilengkapi dengan
kaca pada bagian bawahnya (glass bottom boat) untuk menyaksikan
keindahan bawah laut Karimunjawa. Hal serupa dapat dinikmati yaitu
melihat akuarium air laut di pulau Menjangan Besar. Di sini terdapat
fasilitas akuarium air laut dimana Anda dapat menikmati keindahan ikan
hias termasuk ikan hiu dan ikan lainnya.
Anda juga dapat melakukan wisata selam bangkai kapal (wreck dive)
di Pulau Kemojan. Akan terasa suasana sunyi bercampur misteri dari
pilar besi kapal yang berkarat. Bangkai kapal ini selain menyuguhkan
tantangan juga memberi Anda pengetahuan sejarah. Kapal tersebut adalah
pengangkut batu bara milik pemerintah Hindia Belanda yang karam 60 tahun
silam karena sang nahkoda menyangka Kepulauan Karimunjawa adalah
pesisir pantai. Dasar pantai di Karimunjawa relatif rendah sehingga
membuat kapal tersebut kandas dan akhirnya karam.
Selain
alam yang indah, penduduk Karimunjawa yang multietnik akan menarik
untuk dijadikan objek interaksi sosial Anda. Ada berbagai keunikan
budaya dan tradisi penduduknya termasuk wisata budaya dan ziarah.
Legenda Nyamplungan telah membuat kawasan ini menarik untuk dikunjungi
peziarah yang ingin mendatangi makam Sunan Nyamplungan dan
peninggalannya. Saat yang tepat adalah saat perayaan Khoul Sunan
Nyamplungan pada 1 Suro.
Temukan juga berbagai atraksi budaya di
sini seperti pencak silat, rebana, gamelan jawa, dan reog (kuda
lumping). Ada juga atraksi rutin masyarakat setempat seperti pelepasan
penyu dan upacara pelepasan perahu.
Pulau Cemara Besar: Keindahan Pulau dan Perairan Dangkal di Karimunjawa
Ketika Anda membayangkan Karimunjawa
sebenarnya bukan hanya pulau ini saja yang indah untuk dinikmati.
Tahukah Anda bahwa di sekitar Karimunjawa terdapat pulau yang begitu
memesona mata dan menyejukkan hati. Pulau tersebut bernama Pulau Cemara
Besar dan berada di Taman Nasional Karimunjawa, Jepara, Provinsi Jawa Tenggah. Jaraknya sekira satu jam dari Pulau Karimunjawa.
Bagi Anda pecinta pantai maka Pulau
Cemara Besar bisa menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari
kepenatan sehari-hari atau ibarat obat penghilang stress. Pulau ini
dinaungi langit biru membentang, beralaskan pasir putih dengan pepohonan
cemara lebat berwarna hijau, serta dikelilingi jernihnya air laut
berwarna biru muda yang saling berpadu menjadi sebuah harmoniasi alam
nan memukau. Di kejauhan juga nampak perahu nelayan nampak cantik
berlayar seperti gambar dalam sebuah lukisan.
Dinamakan
Pulau Cemara Besar karena di pulau sekira 3,5 hektar ini banyak
ditumbuhi pohon cemara. Pemandangan pohonan cemara nampak indah dari
kejauhan, terlihat kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Karena
perairan di sekitar pulau ini dangkal sehingga perahu nelayan tidak
memungkinkan untuk mencapai daratannya, jadi Anda harus berjalan
beberapa meter untuk sampai ke daratan.
Perairan di sekitar pulau ini memiliki
beraneka ragam biota laut yang patut untuk dilihat. Beragam jenis ikan
berenang di air yang bening bahkan Anda bisa menyaksikannya langsung
dari atas kapal. Terumbu karang di sini sangat beragam, diantaranya
adalah table coral yang bentuknya seperti jamur raksasa, brain coral, staghorn coral,
dan terumbu karang berukuran kecil dengan warna-warni yang indah. Tidak
hanya itu saja, alga hijau juga menjadi penghuni perairan tropis ini.
Ketika
kaki Anda berjalan di atas hamparan pasir putih maka berikutnya mata
Anda akan disuguhi berbagai keindahan di pulau ini yang mungkin tidak
bisa dibayar dengan apapun. Suara kicauan burung sayu-sayu juga akan
terdengar merdunya membuai Anda.
Menyelam dan snorkeling menjadi kegiatan utama dan paling digemari di pulau tidak berpenghuni ini. Perlengkapan snorkeling
dapat diperoleh di Pulau Karimunjawa. Sebelum melakukan kegiatan
menyelam biasanya Anda akan diberikan arahan untuk keselamatan.
Beberapa titik menyelam dan snorkeling
tersebar hampir di seluruh sudut pulau. Menyaksikan kekayaan biota laut
di sekitar perairan pulau ini menjadi pengalaman tersendiri yang
berkesan. Berbagai jenis ikan dengan variasi ukuran dan warna
berseliweran seperti sibuk mencari mangsa. Koleksi terumbu karang di
perairan sekitar pulau ini akan membuat Anda takjud dan betah untuk
berlama-lama. Anda akan melihat beberapa jenis terumbu karang seperti table coral yang berbentuk seperti jamur raksasa, brain coral yang berbentuk bulat dan berwarna kuning mirip otak, serta staghorn coral yang mirip seperti cabang pohon yang mengering.
Pulau Cemara Besar yang hampir seluruh
daratannya ditumbuhi pohon cemara laut memiliki pasir berwarna putih dan
batu karang di setiap sudutnya. Berkelana di lebatnya pepohonan cemara
menjadi pilihan aktivitas menarik. Karena pulau ini tidak begitu luas
maka Anda bisa mencoba untuk mengelilingi pulau, siapa tahu Anda
menemukan hal-hal menarik lainnya di pulau ini. Anda juga bisa bersantai
sambil berjemur di atas pasir yang berkilau diterpa sinar Matahari.
Pesisir pulau ini termasuk dangkal
sehingga Anda yang lebih memilih aktivitas berenang bisa mencobanya.
Anda juga dapat meminta nelayan setempat untuk mengantarkan ke
pulau-pulau di sekitar seperti Pulau Menjangan Besar, Pulau Cemara Kecil
dan Pulau Merica. Semua pulau ini memiliki pesonanya sendiri yang patut
untuk disambangi.
Candi Mendut: Mengunjungi Candi Bertuah dan Lebih Tua dari Candi Borobudur
Candi
ini memang tidak sebesar dan semegah Candi Borobudur tetapi Candi
Mendut jelas berumur lebih tua dan dianggap bertuah oleh sebagian orang.
Berlokasi di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa
Tengah, candi bercorak Buddha ini dibangun oleh Raja Indra dari wangsa
Syailendra dan lokasinya berada di posisi paling timur garis lurus utara
ke selatan dari tiga rangkaian percandian di kawasan Mungkid, yaitu
Borobudur, Pawon, dan Mendut. Candi yang berada di pinggir jalan ini
memang mengisahkan beberapa relief cerita personifikasi hewan dengan
pesan moral tertentu. Anda perlu menyimaknya secara langsung di candi
ini!
Berbeda dengan candi-candi di Jawa
bahkan di Indonesia yang menghadap ke arah Matahari terbit maka pintu
masuk Candi Mendut menghadap ke arah barat laut. Hiasan yang terdapat
pada Candi Mendut cukup unik yaitu terukir berselang-seling berupa
makhluk-makhluk kahyangan, yaitu dewata Gandarwa dan Apsara atau
bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga
terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan Jataka.
Sampai saat ini para ahli belum dapat
memastikan kapan waktu persis pendirian Candi Mendut (catatan sementara
pada tahun 824 Masehi). Candi ini awalnya diketemukan seorang arkeolog
Belanda bernama J.G. de Casparis tahun 1836. Berikutnya pada 1897 hingga
1904 dilakukan perbaikan pada bagian kaki dan tubuh candi. Tahun 1908
hingga 1925 kembali diperbaiki oleh Theodoor van Erp hingga puncak candi
ini dapat disusun kembali bersama sejumlah stupa.
Bangunan candi ini terbuat dari batu
andesit dengan luas keseluruhan 13,7x13,7 dan menjulang setinggi 26,4
meter dengan stupa kecil sebanyak 48 buah pada bagian atasnya. Akan
tetapi, puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi
bentuk aslinya. Atap candinya sendiri terdiri dari tiga kubus yang
disusun mengkerucut mirip atap candi-candi di Dieng dan Gedongsanga.
Candi Mendut mempunyai banyak ragam
hias atau relief yang masih jelas terlihat, mulai dari kaki, tubuh,
hingga atapnya. Relief bagian belakang candi merupakan relief terbesar
pada candi ini yang menggambarkan Buddha Avalokitesvara.
Prasasti Kayumwungan yang ditemukan
di Karangtengah memberikan sedikit informasi bahwa Candi Mendut ini
dibangun oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Bangunan suci tersebut
diberi nama Venunava atau yang artinya hutan bambu.
Beberapa relief lainnya mengandung cerita moral dengan tokoh-tokoh binatang sebagai pemerannya seperti cerita "Brahmana dan Kepiting", "Angsa dan Kura-kura", "Dua Burung Betet yang Berbeda", dan "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi". Dalam relief "Brahmana dan Kepeting",
menceritakan kisah seorang brahmana yang menyelamatkan seekor kepiting
dan kemudian kepiting itu membalas budi dengan menyelamatkan brahmana
dari gangguan gagak dan ular. Dalam relief "Angsa dan Kura-kura",
menceritakan seekor kura-kura yang diterbangkan dua ekor angsa ke
danau. Karena emosi dalam menangapi ejekan orang maka kura-kura
melepaskan gigitannya sehingga jatuh ke tanah dan akhirnya mati. Dalam
relief "Dua Burung Betet yang Berbeda",
menceritakan dua burung betet yang sangat berbeda karakter karena yang
satu dibesarkan oleh seorang brahmana dan satunya lagi oleh seorang
penyamun. Dalam relief "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi",
menceritakan dua orang sahabat yang berbeda tabiat, yaitu Dustabuddhi
dan Dharmabuddhi. Dustabuddhi menuduh Dharmabuddhi melakukan perbuatan
tercela namun akhirnya Dustabudhi yang jahat dijatuhi hukuman.
Candi Mendut disebut juga candi
bertuah, karena banyak pasangan yang belum dikaruniai anak datang ke
sini memohon kepada Dewi Kesuburan. Hal ini dikaitkan dengan adanya
relief Hariti. Di Candi Mendut, Hariti digambarkan sedang duduk
sambil memangku anak dan di sekelilingnya beberapa anak sedang bermain.
Menurut cerita, Hariti adalah raksasa yang gemar memakan anak kecil
tetapi kemudian bertemu Sang Buddha dan ia pun bertobat serta berubah
manjadi pelindung anak-anak. Berikutnya bahkan Hariti dikenal sebagai
Dewi Kesuburan.
Saat ini selain menjadi tujuan wisata,
Candi Mendut juga dipergunakan untuk perayaan upacara Waisak setiap Mei
saat pada malam bulan purnama. Candi ini banyak dikunjungi para
peziarah dari Indonesia dan bahkan mancanegara. Kesehariannya candi ini
terbuka untuk pengunjung pada Senin - Minggu, pukul 07:00 - 18:00 WIB.
Saat
Anda memasuki kawasan candi yang dipagari ini maka akan melihat kaki
candi yang dihiasi sebuah relief kahyangan yang menggambarkan seorang
laki-laki sedang duduk dikelilingi bunga dan daun-daunan yang distilir.
Ada juga relief seekor kera sedang duduk di atas punggung buaya yang
dihiasi bunga-bunga di sekitarnya. Apabila diperhatikan lebih dekat pada
dinding candi ini di sebelah luarnya terdapat relief Dewi Tara yang
sedang duduk bersemedi di bawah pohon kalpataru dan relief Sang Budha
yang sedang berdiri di antara pilar-pilar dan berlindung di bawah
payung. Di sudut selatan candi ini, tepat di halaman sampingnya
bongkahan reruntuhan candi ini yang sedang diidentifikasi untuk
direkonstruksi.
Pintu masuk candi ini dihiasi relief
kalpataru, sebuah pohon pengharapan dengan enam unsurnya yang meliputi
hewan pengapit, jambangan bunga, untaian manik-manik, payung, dan
burung. Apabila Anda memasuki dalam ruangan candi maka akan melihat
relief Hariti, yaitu raksasa yang sering memangsa anak kecil tetapi
telah disadarkan kebaikan dari Resi Gautama (Buddha) sehingga menjadi
raksasa yang baik bahkan berikutnya Hariti sering mendapat sebutan
sebagai Dewi Kesuburan.
Perhatikan juga dinding bagian selatan dimana akan Anda temukan relief Yaksa Atavaka,
yaitu mirip Hariti tetapi raksasa ini suka memakan orang. Dalam
ceritnaya ia juga disadarkan menjadi pengikut Budha dan menjadi raksasa
yang baik. Karena Dewi Kesuburan itulah barangkali yang mendorong
beberapa pasangan yang belum diberi momongan sering ziarah ke Candi
Mendut. Selain itu, relief Yaksa Atavaka di candi ini digambarkan sedang
duduk di atas singgasana dan di bawahnya terdapat pundi-pundi berisi
uang dikelilingi anak-anak. Berikutnya Yaksa ini sering disebut dengan
Kuvera atau Dewa Kekayaan.
Apabila Anda mengarahkan perhatian
pada sayap tangga candi maka akan ditemukan relief unik berupa kura-kura
yang sedang diterbangkan oleh dua ekor angsa dengan menggunakan tongkat
yang dicengkram pada bagian ujungnya dan kura-kura menggigit bagian
tengah tongkat tersebut. Diceritakan dalam runut gambarnya bahwa saat
terbang banyak orang yang melihat mencemoohnya sehingga kura-kura pun
melepaskan gigitannya lalu jatuh ke tanah dan mati. Ada cerita menarik
lainnya dari relief yang terukir di sayap tangga yaitu kisah seorang
Brahmana yang menyelamatkan seekor ketam dari gangguan burung dan ular.
Di bagian dalam bangunan candi sendiri
terdapat ruangan yang berisi altar dengan tiga arca Buddha yang masih
dalam kondisi baik. Ketiga arca tersebut adalah Bodhisattva Vajravani,
Budha Sakyamuni dalam posisi duduk bersila dengan tangan memutar roda
dharma, dan Bodhisattva Avalokitesvara dalam posisi sedang memegang
bunga teratai yang diletakkan di atas telapak tangannya. Di depan
arca-arca tersebut dipasang pagar besi untuk menghindari interaksi
pengunjung secara langsung.
Di Candi Mendut sering dilakukan
ritual meditasi dengan cara mendengarkan alunan musik serta nyanyian.
Pesertanya tidak harus beragama Buddha, siapa pun dipersilakan mengikuti
ritual ini yang rutin digelar setiap malam pukul 19.00 - 20.00 WIB.
Candi Mendut juga rutin dipergunakan
untuk perayaan upacara Waisak setiap Mei (pada malam bulan purnama).
Biasanya para biksu melakukan persembahyangan penyucian air berkah di
depan altar Candi Mendut. Air berkah tersebut dibawa dengan 70 kendi
dari Umbul Jumprit Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten
Temanggung, dan diangkut menggunakan mobil hias hingga tiba di pelataran
Candi Mendut. Air berkah itu merupakan simbol ketenteraman kehidupan
manusia dan dianggap pemeluk Buddha memiliki banyak berkah. Mereka akan
membawa pulang air tersebut ke rumah masing-masing setelah selesai
menjalani rangkaian perayaan Trisuci Waisak. Selain air berkah, para
biksu dan umat juga membawa api dharma dari sumber api alam dari Gunung Mrapen, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Telaga Warna Dieng: Keindahan Fenomena Alam di Dataran Tinggi Dieng
Dataran tinggi Dieng
memiliki sejuta keindahan yang memukau. Kawasan ini selain dihiasi
hijaunya pepohonan dan candi bercorak Hindu yang indah, juga berdiam
sebuah bingkisan alam nan indah bernama Telaga Warna Dieng. Berlokasi di
Kecamatan Kejajar Wonosobo, telaga ini merupakan salah satu destinasi
wisata andalan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Untuk mencapainya dari Wonosobo Anda dapat berkendara sekira 25 km.
Harmonisasi alam dengan udara yang sejuk
dan bersih membuat suasana Telaga Warna Dieng begitu memikat. Anda juga
akan merasakan suasana mistis yang hening disempurnakan oleh kabut
putih dan pepohonan yang melingkupinya. Tidaklah lengkap menyambangi
Dieng tanpa melihat langsung keindahan Telaga Warna Dieng. Selain itu
dari sini Anda dapat melanjutkan mengunjungi Telaga Pengilon, Goa Sumur,
Goa Semar, Goa Jaran, dan Kawah Sikendang ini.
Dinamakan
Telaga Warna karena fenomena alam yang terjadi di tempat ini yaitu
berupa pergantian warna air dari telaga tersebut. Terkadang berwarna
hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini
terjadi karena di dalam air tersebut terdapat kandungan sulfur cukup
tinggi sehingga saat sinar Matahari mengenainya maka warna air telaga
nampak berwarna warni. Anda bisa menyaksikan di tengah telaga terdapat
letupan air mendidih seperti yang ada di Kawah Putih (Jawa Barat).
Keberadaan Telaga Warna Dieng juga
sangat berguna bagi masyarakat sekitar. Mereka menggunakannya sebagai
sumber irigasi untuk mengairi tanaman kentang yang menjadi komoditas
utama di kawasan ini.
Anda
dapat menyusuri tepian telaga ini dan ada juga balkon kecil untuk duduk
bersantai sambil menikmati udara dan keanekaragaman fenomena alam yang
mengelilinginya. Lokasi paling tepat untuk menikmati keindahan telaga
ini selain berada tepat di hadapannya adalah Anda juga bisa mendaki ke
puncak bukit yang memagari telaga. Kondisi menuju bukit ini cukup sempit
dan licin dan hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Di sini, di
antara rimbunnya pepohonan, Anda bisa menyaksikan keindahan telaga
berwarna-warni ungu cantik, bergradasi dengan warna hijau di tengah, dan
hijau pucat di pusat telaga. Dieng Plateau Theater menyediakan informasi lengkap mengenai kejadian alam di sekitar Dieng, jadi sempatkan untuk menyambanginya.
Tidak jauh dari bukit itu terdapat
telaga cantik lainnya yatiu Telaga Pengilon. Telaga ini dapat digunakan
untuk bercermin karena airnya yang jernih. Penduduk setempat menyebutkan
bahwa danau ini bisa mengetahui isi hati manusia. Anda mungkin
penasaran, mengapa tidak mencoba datang dan lihat rupa wajah Anda di air
telaga ini.
Di sekitar Telaga Warna Dieng tedapat beberapa gua yang juga patut untuk dikunjungi seperti Gua Semar Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati.
Di depan gua ini terdapat arca wanita dengan membawa kendi. Gua ini
juga memiliki kolam kecil yang airnya dipercaya dapat menyembuhkan
berbagai penyakit dan membuat kulit jadi lebih cantik. Ada juga Gua Sumur Eyang Kumalasari, dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Selain itu, ada pula Batu Tulis Eyang Purbo Waseso. Gua-gua di sekitar kawasan ini sering dijadikan sebagai tempat meditasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar