Selasa, 02 Desember 2014

Wisata Jawa Tengah Bab II

Candi Sukuh: Keunikan Candi Hindu Terakhir dari Masa Majapahit 

 Candi ini dijuluki sebagai The Last Temple karena hingga saat ini perkirakan sebagai candi terakhir yang dibangun sebelum kerajaan Hindu Majapahit di Jawa Tengah memudar perannya. Anda akan temukan candi ini di ketinggian 1.186 mdpl, berlokasi di lereng barat Gunung Lawu, Dukuh Berjo, Desa Sukuh, Ngargoyoso, Karanganyar. Candi ini berjarak sekitar 20 km dari kota Karanganyar dan 36 km dari Surakarta.

Candi Sukuh merupakan salah satu candi paling menarik di Asia Tenggara. Uniknya karena di candi ini terdapat beberapa ornamen erotis simbol sex manusia. Beberapa patung dan arca menggambarkan lingga sebagai perwujudan kemaluan pria dan yoni sebagai perwujudan kemaluan wanita.

Bangunannya pun berbeda dari kebanyakan candi di Indonesia karena candi ini mirip piramid Suku Maya di Mexico atau Inca di Peru. Jika candi-candi lain  di Jawa Tengah


dibangun dengan bentuk yang menyimbolkan Gunung Meru maka Candi Sukuh memiliki tampilan sederhana berbentuk trapesium. Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan berupa batuan jenis andesit.

Candi Sukuh adalah candi agama Hindu yang dibangun akhir abad ke-15 M. Candi ini berbeda arsitekturnya dari umumnya candi Hindu di Jawa Tengah. Arsitektur Candi Sukuh tidak mengikuti ketentuan kitab pedoman pembuatan bangunan suci Hindu “Wastu Widya”. Menurut ketentuan kitab tersebut, sebuah candi harus berdenah dasar bujur sangkar dengan tempat yang paling suci terletak di tengah. Adanya penyimpangan tersebut diduga karena Candi Sukuh dibangun pada masa memudarnya pengaruh Hindu di Jawa dan menghidupkan kembali unsur-unsur budaya setempat dari zaman Megalitikum. Pengaruh zaman prasejarah terlihat dari bentuk bangunan Candi Sukuh yang merupakan teras berundak. Bentuk semacam itu mirip dengan bangunan punden berundak yang merupakan ciri khas bangunan suci pada masa pra-Hindu. Ciri khas lain bangunan suci dari masa pra-Hindu adalah tempat paling suci terletak di bagian paling tinggi dan paling belakang.

Teori lain tentang candi ini menyebutkan merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab “Adiparwa”, yaitu kitab pertama Mahabharata. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri dan dipergunakan untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta yang bisa memberikan kehidupan abadi bagi siapapun yang meminumnya.

Candi Sukuh diperkirakan dibangun untuk tujuan pengruwatan, yaitu menangkal atau melepaskan kekuatan buruk yang mempengaruhi kehidupan seseorang akibat ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Dugaan tersebut didasarkan pada relief-relief yang memuat cerita-cerita pengruwatan, seperti Sudamala dan Garudheya, serta pada arca kura-kura dan garuda yang terdapat di candinya.

Arkeolog Belanda W.F. Stutterheim pada tahun 1930 menjelaskan kemungkinan pemahat Candi Sukuh adalah bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Candi dibuat seakan tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Hal ini terlihat dari relief yang masih kasar dan sederhana.  Ada dugaan ini disebabkan karena keadaan politik kala itu menjelang keruntuhannya Majapahit yang terdesak pengaruh Islam dari Demak. Oleh karena itu, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah. Akan tetapi, meski demikian candi ini menyimpan keunikan yang berharga sebagai salah satu warisan budaya Indonesia.

Candi Sukuh ditemukan kembali oleh Residen Johnson yang merupakan bawahan  Sir Thomas Stamford Bingley Raffles. Ia ditugasi gubernur jenderal ini untuk menghimpun data untuk penyusunan buku “History of Java” tahun 1815.
Berikutnya tahun 1842, Van der Vlis, seorang peneliti Belanda melakukan riset dan memugar candi ini. Hasil penelitian tersebut dilaporkan dalam bukunya “Prove Eener Beschrijten op Soekoeh en Tjeto”. Penelitian kemudian dilanjutkan oleh Hoepermans tahun 1864-1867 dan dilaporkan dalam bukunya “Hindoe Oudheiden van Java”. Tahun 1889, Verbeek mengadakan inventarisasi terhadap Candi Sukuh, dilanjutkan penelitian Knebel dan WF. Stutterheim tahun 1910. Pemugaran Candi Sukuh dilakukan oleh Dinas Purbakala tahun 1917. Pada akhir tahun 1970-an. Candi Sukuh mengalami pemugaran kembali oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Di kawasan Candi Sukuh Anda tidak hanya sekedar berjalan-jalan di lereng gunung yang sejuk sambil menikmati candi terakhir yang dibangun dari masa Majapahit ini. Anda juga dapat berkeliling menapaki jejak cerita dari masa lalu sambil coba menguak misteri sejarahnya karena ini akan menjadi salah satu pengalaman wisata yang mengasyikkan. Berbagai misteri dan pertanyaan masih menyelimuti Candi Sukuh.

Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan dan keunikan sekaligus. Anda akan mendapatkan pengalaman lain yang berbeda dibandingkan saat mengunjungi candi-candi lainnya di Jawa Tengah seperti Candi Borobudur atau Candi Prambanan.

Candi Sukuh berada di areal sekitar 5.500 m². Candi ini terdiri dari terdiri atas tiga teras bersusun mirip piramida Maya di Meksiko atau Inca di Peru. Saat Anda memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar maka akan melihat bentuk arsitektur khas yang tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya. Pada gapura pertama terdapat sebuah sangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi ‘gapura buta abara wong’, artinya ‘gapura sang raksasa memangsa manusia’. Kata-kata ini memiliki makna 9, 5, 3, dan 1, jika dibalik maka didapatkan angka tahun 1359 Saka atau tahun 1437 Masehi.

Menuju ke teras kedua, Anda akan melewati gerbang kedua yang bentuknya sudah tidak utuh lagi. Hanya tersisa dinding gapura yang tingginya hanya sebatas tangga naik dan tidak beratap. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala namun kondisinya sudah rusak dan bentuknya tidak jelas. Pada gapura kedua terdapat sebuah candrasangkala yang dalam bahasa Jawa yang berbunyi “gajah wiku anahut buntut”, artinya “gajah pendeta menggigit ekor”. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.

Di teras ketiga, gapura ketiga kondisinya sama dengan gapura kedua yang sudah tidak utuh lagi. Terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa relief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan. Candi induk yang mirip dengan bentuk vagina ini, menurut beberapa pakar dibuat untuk mengetes keperawanan gadis. Menurut cerita, jika seorang gadis yang masih perawan mendakinya, maka selaput daranya akan robek dan berdarah. Namun apabila ia tidak perawan lagi, maka ketika melangkahi batu undak ini, kain yang dipakainya akan robek dan terlepas.
 

Karimunjawa : Keindahan Pantai Berpadu Wisata Religi 
Anda yang cinta pantai maka wajib merasakan jernihnya air laut, langit biru, awan putih, dan hawa segar Karimunjawa. Semuanya akan menjadi milik Anda selama berada di Kepulauan yang lokasinya sekitar 45 mil laut atau sekitar 83 kilometer di barat laut kota Jepara. Setelahnya bersiaplah untuk enggan pulang karena kedamaian tempat ini memberi kesan tersendiri dan sulit digantikan tempat lain. Telah banyak wisatawan datang kembali ke pulau yang indah ini karena ketagihan.
 Karimunjawa adalah gugusan pulau yang sangat indah dengan hamparan pasir putih menawan, meliputi 27 pulau dalam 1 kecamatan dan terbagi dalam 3 desa. Luas tempat indah ini adalah 107.225 ha, sebagian besar wilayahnya berupa lautan (100.105 ha) sementara sisanya adalah daratan seluas 7.120 ha.
Ada bentangan pantai berpasir putih di sini dengan beragam fauna yang menakjubkan, juga hutan mangrove dan hutan tropis dataran rendah yang menyajikan pemandangan menyejukan mata.
Karimunjawa dijuluki Perawan Jawa, sebuah inisial yang merujuk pada perairannya begitu bening sehingga sebuah koin yang jatuh ke dalamnya akan dengan mudah Anda temukan karena kejernihannya.
Taman nasional laut ini beriklim tropis dipengaruhi angin laut yang bertiup sepanjang hari. Suhu rata-ratanya sekitar 26-30 derajat Celcius. Karimunjawa memiliki kekayaan ekosistem flora dan fauna mulai dari terumbu karang, hutan mangrove (Padang Lamun), hutan pantai, hingga hutan dataran rendah. Anda dapat ber-tracking menyusuri sejuknya hutan mangrove seluas 10,5 hektar dengan jalur tracking sepanjang 2 km yang menyuguhkan aneka macam jenis pohon mangrove langka sekaligus Anda ikut menanam dan melestarikan mangrove di sana.
Di bawah air Karimunjawa ada fauna akuatik yang terdiri atas 242 jenis ikan hias dan 133 genera akuatik.  Selain alam air, Anda juga dapat menemukan bervariasi fauna seperti rusa dan kera ekor panjang di daratnya. Karimunjawa juga menjadi rumah fauna langka yaitu elang laut dada putih di Pulau Burung dan Pulau Geleang. Hewan langka lainnya adalah dua jenis penyu, yaitu penyu sisik dan penyu hijau.
Karimunjawa dalam cerita rakyat setempat terkait Legenda Nyamplungan dan sosok Sunan Nyamplung (Syech Amir Hasan) yang merupakan putera Sunan Muria. Sedari kecil, Amir Hasan hidup dimanja sehingga cenderung nakal saat dewasa. Karena wataknya yang nakal kemudian Sunan Muria menitipkan puteranya kepada Sunan Kudus dengan harapan menjadi lebih baik. Amir Hasan memang berubah baik tetapi setelah berkumpul kembali dengan keluarganya, perilaku Amir Hasan kembali seperti semula. Akhirnya Sunan Muria memerintahkan puteranya itu untuk mengamalkan ilmu agama di pulau yang terlihat kremun-kremun (artinya tidak jelas) bila dilihat dari Gunung Muria. Amir Hasan tidak boleh kembali ke Pulau Jawa sebelum tugasnya selesai. Ia pergi ditemani 2 orang abdi dengan berbekal 2 buah biji nyamplung untuk ditanam di pulau tersebut dan sebuah mustaka masjid (Anda dapat menemukannya di kompleks makam Sunan Nyamplungan). Amir Hasan menanam 2 buah biji nyamplung yang kemudian tumbuh menjadi pohon nyamplung (Temukan lokasinya yang sekarang menjadi Dukuh Nyamplung.
Penduduk Karimunjawa adalah multietnis meliputi suku Jawa, Bugis Makassar, dan Madura. Masyarakat Jawa tinggal di Dukuh Karimun, Dukuh Legon Lele, Dukuh Nyamplungan, dan Dukuh Mrican. Mata pencaharian utama mereka adalah bertani dan industri rumah tangga membuat batu bata merah dan minyak kelapa.  Masyarakat Bugis Makassar tinggal di Pulau Kemujan, Dukuh Batu Lawang, Dukuh Legon Gede, dan Dukuh Tlogo. Orang Bugis ini berprofesi sebagai nelayan.  Sementara masyarakat Madura selain berprofesi sebagai nelayan juga memiliki keterampilan membuat ikan kering.

Hampir seluruh bagian pantai di kepulauan Karimunjawa memiliki pasir putih dengan garis pantai yang panjang. Ini jelas lokasi sempurna untuk mandi sinar Matahari atau menyaksikan keindahan terbit atau terbenamnya Sang Surya di tepi horizon.
Di sini tema wisata Anda pastinya wisata bahari yang menawarkan berbagai kegiatan wisata dan olahraga air.  Setidaknya cobalah meminta bantuan atau petunjuk pemandu wisata Anda untuk mencicipi salah satu kegiatan seperti menyelam, snorkeling, memancing, berenang, berjemur, atau menjelajahi lautnya yang jernih.
Di Karimunjawa Anda dapat menikmati panorama alam pantai berpasir putih dengan cakrawala biru membentang. Jangan lewatkan juga terjun ke bawah airnya untuk memandangi terumbu karang, rumput laut, dan beragam biota laut.
Apabila Anda ingin berenang maka cobalah di sebelah timur dan selatan pulau ini, bagian selatan, bagian barat pulau Tengah, juga barat pulau Menjangan Kecil, atau sekitar Pulau Parang, Pulau Kembar, dan Pulau Kumbang.
Untuk Anda yang hobi memancing maka dapat melakukannya di sekitar pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, ada juga di Pulau Menyawakan, Pulau Kemujan, Pulau Parang,  Pulau Tengah, sekitar Pulau Kembar, dan sebelah barat Pulau Bengkoang.
Tempat terbaik untuk menyelam dapat Anda lakukan di sebelah utara dan barat pulau Karimunjawa, sebelah selatan dan barat pulau Geleang, sebelah timur pulau Menjangan Besar, sekitar pulau Menjangan Kecil, sebelah barat pulau Bengkoang, sebelah barat pulau parang, sebelah timur pulau Kembar, sekitar pulau Katang, sebelah utara dan timur pulau Krakal Kecil, dan sebelah barat pulau Kumbang.
Anda yang hobi snorkeling dapat menjajalnya di pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil, sebelah barat pulau Bengkoang, sebelah utara dan timur pulau Krakal Kecil, atau di sekitar pulau Kembar.

Apabila Anda tidak dapat berenang dan hanya ingin menjelajah laut maka tersedia kapal yang dilengkapi dengan kaca pada bagian bawahnya (glass bottom boat) untuk menyaksikan keindahan bawah laut Karimunjawa. Hal serupa dapat dinikmati yaitu melihat akuarium air laut di pulau Menjangan Besar. Di sini  terdapat fasilitas akuarium air laut dimana Anda dapat menikmati keindahan ikan hias termasuk ikan hiu dan ikan lainnya.
Anda juga dapat melakukan wisata selam bangkai kapal (wreck dive) di Pulau Kemojan. Akan terasa suasana sunyi bercampur misteri dari pilar besi kapal yang berkarat. Bangkai kapal ini selain menyuguhkan tantangan juga memberi Anda pengetahuan sejarah. Kapal tersebut adalah pengangkut batu bara milik pemerintah Hindia Belanda yang karam 60 tahun silam karena sang nahkoda menyangka Kepulauan Karimunjawa adalah pesisir pantai. Dasar pantai di Karimunjawa relatif rendah sehingga membuat kapal tersebut kandas dan akhirnya karam.
Selain alam yang indah, penduduk Karimunjawa yang multietnik akan menarik untuk dijadikan objek interaksi sosial Anda. Ada berbagai keunikan budaya dan tradisi penduduknya termasuk wisata budaya dan ziarah. Legenda Nyamplungan telah membuat kawasan ini menarik untuk dikunjungi peziarah yang ingin mendatangi makam Sunan Nyamplungan dan peninggalannya. Saat yang tepat adalah saat perayaan Khoul Sunan Nyamplungan pada 1 Suro.
Temukan juga berbagai atraksi budaya di sini seperti pencak silat, rebana, gamelan jawa, dan reog (kuda lumping). Ada juga atraksi rutin masyarakat setempat seperti pelepasan penyu dan upacara pelepasan perahu.  

Pulau Cemara Besar: Keindahan Pulau dan Perairan Dangkal di Karimunjawa
Ketika Anda membayangkan Karimunjawa sebenarnya bukan hanya pulau ini saja yang indah untuk dinikmati. Tahukah Anda bahwa di sekitar Karimunjawa terdapat pulau yang begitu memesona mata dan menyejukkan hati. Pulau tersebut bernama Pulau Cemara Besar dan berada di Taman Nasional Karimunjawa, Jepara, Provinsi Jawa Tenggah. Jaraknya sekira satu jam dari Pulau Karimunjawa.

Bagi Anda pecinta pantai maka Pulau Cemara Besar bisa menjadi pilihan tepat untuk melarikan diri dari kepenatan sehari-hari atau ibarat obat penghilang stress. Pulau ini dinaungi langit biru membentang, beralaskan pasir putih dengan pepohonan cemara lebat berwarna hijau, serta dikelilingi jernihnya air laut berwarna biru muda yang saling berpadu menjadi sebuah harmoniasi alam nan memukau. Di kejauhan juga nampak perahu nelayan nampak cantik berlayar seperti gambar dalam sebuah lukisan.

Dinamakan Pulau Cemara Besar karena di pulau sekira 3,5 hektar ini banyak ditumbuhi pohon cemara. Pemandangan pohonan cemara nampak indah dari kejauhan, terlihat kontras dengan pemandangan di sekitarnya. Karena perairan di sekitar pulau ini dangkal sehingga perahu nelayan tidak memungkinkan untuk mencapai daratannya, jadi Anda harus berjalan beberapa meter untuk sampai ke daratan.

Perairan di sekitar pulau ini memiliki beraneka ragam biota laut yang patut untuk dilihat. Beragam jenis ikan berenang di air yang bening bahkan Anda bisa menyaksikannya langsung dari atas kapal. Terumbu karang di sini sangat beragam, diantaranya adalah table coral yang bentuknya seperti jamur raksasa, brain coral, staghorn coral, dan terumbu karang berukuran kecil dengan warna-warni yang indah. Tidak hanya itu saja, alga hijau juga menjadi penghuni perairan tropis ini.

Ketika kaki Anda berjalan di atas hamparan pasir putih maka berikutnya mata Anda akan disuguhi berbagai keindahan di pulau ini yang mungkin tidak bisa dibayar dengan apapun. Suara kicauan burung sayu-sayu juga akan terdengar merdunya membuai Anda.

Menyelam dan snorkeling menjadi kegiatan utama dan paling digemari di pulau tidak berpenghuni ini. Perlengkapan snorkeling dapat diperoleh di Pulau Karimunjawa. Sebelum melakukan kegiatan menyelam biasanya Anda akan diberikan arahan untuk keselamatan.

Beberapa titik menyelam dan snorkeling tersebar hampir di seluruh sudut pulau. Menyaksikan kekayaan biota laut di sekitar perairan pulau ini menjadi pengalaman tersendiri yang berkesan. Berbagai jenis ikan dengan variasi ukuran dan warna berseliweran seperti sibuk mencari mangsa. Koleksi terumbu karang di perairan sekitar pulau ini akan membuat Anda takjud dan betah untuk berlama-lama. Anda akan melihat beberapa jenis terumbu karang seperti table coral yang berbentuk seperti jamur raksasa, brain coral yang berbentuk bulat dan berwarna kuning mirip otak, serta staghorn coral yang mirip seperti cabang pohon yang mengering. 

Pulau Cemara Besar yang hampir seluruh daratannya ditumbuhi pohon cemara laut memiliki pasir berwarna putih dan batu karang di setiap sudutnya. Berkelana di lebatnya pepohonan cemara menjadi pilihan aktivitas menarik. Karena pulau ini tidak begitu luas maka Anda bisa mencoba untuk mengelilingi pulau, siapa tahu Anda menemukan hal-hal menarik lainnya di pulau ini. Anda juga bisa bersantai sambil berjemur di atas pasir yang berkilau diterpa sinar Matahari.

Pesisir pulau ini termasuk dangkal sehingga Anda yang lebih memilih aktivitas berenang bisa mencobanya. Anda juga dapat meminta nelayan setempat untuk mengantarkan ke pulau-pulau di sekitar seperti Pulau Menjangan Besar, Pulau Cemara Kecil dan Pulau Merica. Semua pulau ini memiliki pesonanya sendiri yang patut untuk disambangi. 

Candi Mendut: Mengunjungi Candi Bertuah dan Lebih Tua dari Candi Borobudur 
Candi ini memang tidak sebesar dan semegah Candi Borobudur tetapi Candi Mendut jelas berumur lebih tua dan dianggap bertuah oleh sebagian orang. Berlokasi di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, candi bercorak Buddha ini dibangun oleh Raja Indra dari wangsa Syailendra dan lokasinya berada di posisi paling timur garis lurus utara ke selatan dari tiga rangkaian percandian di kawasan Mungkid, yaitu Borobudur, Pawon, dan Mendut. Candi yang berada di pinggir jalan ini memang mengisahkan beberapa relief cerita personifikasi hewan dengan pesan moral tertentu. Anda perlu menyimaknya secara langsung di candi ini!
Berbeda dengan candi-candi di Jawa bahkan di Indonesia yang menghadap ke arah Matahari terbit maka pintu masuk Candi Mendut menghadap ke arah barat laut. Hiasan yang terdapat pada Candi Mendut cukup unik yaitu terukir berselang-seling berupa makhluk-makhluk kahyangan, yaitu dewata Gandarwa dan Apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda. Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan Jataka.
 Sampai saat ini para ahli belum dapat memastikan kapan waktu persis pendirian Candi Mendut (catatan sementara pada tahun 824 Masehi). Candi ini awalnya diketemukan seorang arkeolog Belanda bernama J.G. de Casparis tahun 1836. Berikutnya pada 1897 hingga 1904 dilakukan perbaikan pada bagian kaki dan tubuh candi. Tahun 1908 hingga 1925 kembali diperbaiki oleh Theodoor van Erp hingga puncak candi ini dapat disusun kembali bersama sejumlah stupa.
Bangunan candi ini terbuat dari batu andesit dengan luas keseluruhan 13,7x13,7 dan menjulang setinggi 26,4 meter dengan stupa kecil sebanyak 48 buah pada bagian atasnya. Akan tetapi, puncak atap sudah tidak tersisa sehingga tidak diketahui lagi bentuk aslinya. Atap candinya sendiri terdiri dari tiga kubus yang disusun mengkerucut mirip atap candi-candi di Dieng dan Gedongsanga. 
Candi Mendut mempunyai banyak ragam hias atau relief yang masih jelas terlihat, mulai dari kaki, tubuh, hingga atapnya. Relief bagian belakang candi merupakan relief terbesar pada candi ini yang menggambarkan Buddha Avalokitesvara.
Prasasti Kayumwungan yang ditemukan di Karangtengah memberikan sedikit informasi bahwa Candi Mendut ini dibangun oleh Raja Indra dari Dinasti Syailendra. Bangunan suci tersebut diberi nama Venunava atau yang artinya hutan bambu.
Beberapa relief lainnya mengandung cerita moral dengan tokoh-tokoh binatang sebagai pemerannya seperti cerita "Brahmana dan Kepiting", "Angsa dan Kura-kura", "Dua Burung Betet yang Berbeda", dan "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi". Dalam relief "Brahmana dan Kepeting", menceritakan kisah seorang brahmana yang menyelamatkan seekor kepiting dan kemudian kepiting itu membalas budi dengan menyelamatkan brahmana dari gangguan gagak dan ular. Dalam relief "Angsa dan Kura-kura", menceritakan seekor kura-kura yang diterbangkan dua ekor angsa ke danau. Karena emosi dalam menangapi ejekan orang maka kura-kura melepaskan gigitannya sehingga jatuh ke tanah dan akhirnya mati. Dalam relief "Dua Burung Betet yang Berbeda", menceritakan dua burung betet yang sangat berbeda karakter karena yang satu dibesarkan oleh seorang brahmana dan satunya lagi oleh seorang penyamun. Dalam relief "Dharmabuddhi dan Dustabuddhi", menceritakan dua orang sahabat yang berbeda tabiat, yaitu Dustabuddhi dan Dharmabuddhi. Dustabuddhi menuduh Dharmabuddhi melakukan perbuatan tercela namun akhirnya Dustabudhi yang jahat dijatuhi hukuman.
Candi Mendut disebut juga candi bertuah, karena banyak pasangan yang belum dikaruniai anak datang ke sini memohon kepada Dewi Kesuburan. Hal ini dikaitkan dengan adanya relief Hariti. Di Candi Mendut, Hariti digambarkan sedang duduk sambil memangku anak dan di sekelilingnya beberapa anak sedang bermain. Menurut cerita, Hariti adalah raksasa yang gemar memakan anak kecil tetapi kemudian bertemu Sang Buddha dan ia pun bertobat serta berubah manjadi pelindung anak-anak. Berikutnya bahkan Hariti dikenal sebagai Dewi Kesuburan.
 Saat ini selain menjadi tujuan wisata, Candi Mendut juga dipergunakan untuk perayaan upacara Waisak setiap Mei saat pada malam bulan purnama. Candi ini banyak dikunjungi para peziarah dari Indonesia dan bahkan mancanegara. Kesehariannya candi ini terbuka untuk pengunjung pada Senin - Minggu, pukul 07:00 - 18:00 WIB.
Saat Anda memasuki kawasan candi yang dipagari ini maka akan melihat kaki candi yang dihiasi sebuah relief kahyangan  yang menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dikelilingi bunga dan daun-daunan yang distilir. Ada juga relief seekor kera sedang duduk di atas punggung buaya yang dihiasi bunga-bunga di sekitarnya. Apabila diperhatikan lebih dekat pada dinding candi ini di sebelah luarnya terdapat relief Dewi Tara yang sedang duduk bersemedi di bawah pohon kalpataru dan relief Sang Budha yang sedang berdiri di antara pilar-pilar dan berlindung di bawah payung. Di sudut selatan candi ini, tepat di halaman sampingnya bongkahan reruntuhan candi ini yang sedang diidentifikasi untuk direkonstruksi.
Pintu masuk candi ini dihiasi relief kalpataru, sebuah pohon pengharapan dengan enam unsurnya yang meliputi hewan pengapit, jambangan bunga, untaian manik-manik, payung, dan burung. Apabila Anda memasuki dalam ruangan candi maka akan melihat relief Hariti, yaitu raksasa yang sering memangsa anak kecil tetapi telah disadarkan kebaikan dari Resi Gautama (Buddha) sehingga menjadi raksasa yang baik bahkan berikutnya Hariti sering mendapat sebutan sebagai Dewi Kesuburan.
Perhatikan juga dinding bagian selatan dimana akan Anda temukan relief Yaksa Atavaka, yaitu mirip Hariti tetapi raksasa ini suka memakan orang. Dalam ceritnaya ia juga disadarkan menjadi pengikut Budha dan menjadi raksasa yang baik. Karena Dewi Kesuburan itulah barangkali yang mendorong beberapa pasangan yang belum diberi momongan sering ziarah ke Candi Mendut. Selain itu, relief Yaksa Atavaka di candi ini digambarkan sedang duduk di atas singgasana dan di bawahnya terdapat pundi-pundi berisi uang dikelilingi anak-anak. Berikutnya Yaksa ini sering disebut dengan Kuvera atau Dewa Kekayaan.
Apabila Anda mengarahkan perhatian pada sayap tangga candi maka akan ditemukan relief unik berupa kura-kura yang sedang diterbangkan oleh dua ekor angsa dengan menggunakan tongkat yang dicengkram pada bagian ujungnya dan kura-kura menggigit bagian tengah tongkat tersebut. Diceritakan dalam runut gambarnya bahwa saat terbang banyak orang yang melihat mencemoohnya sehingga kura-kura pun melepaskan gigitannya lalu jatuh ke tanah dan mati. Ada cerita menarik lainnya dari relief yang terukir di sayap tangga yaitu kisah seorang Brahmana yang menyelamatkan seekor ketam dari gangguan burung dan ular.
Di bagian dalam bangunan candi sendiri terdapat ruangan yang berisi altar dengan tiga arca Buddha yang masih dalam kondisi baik. Ketiga arca tersebut adalah Bodhisattva Vajravani, Budha Sakyamuni dalam posisi duduk bersila dengan tangan memutar roda dharma, dan Bodhisattva Avalokitesvara dalam posisi sedang memegang bunga teratai yang diletakkan di atas telapak tangannya. Di depan arca-arca tersebut dipasang pagar besi untuk menghindari interaksi pengunjung secara langsung.
Di Candi Mendut sering dilakukan ritual meditasi dengan cara mendengarkan alunan musik serta nyanyian. Pesertanya tidak harus beragama Buddha, siapa pun dipersilakan mengikuti ritual ini yang rutin digelar setiap malam pukul 19.00 - 20.00 WIB.
Candi Mendut juga rutin dipergunakan untuk perayaan upacara Waisak setiap Mei (pada malam bulan purnama). Biasanya para biksu melakukan persembahyangan penyucian air berkah di depan altar Candi Mendut. Air berkah tersebut dibawa dengan 70 kendi dari Umbul Jumprit Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, dan diangkut menggunakan mobil hias hingga tiba di pelataran Candi Mendut. Air berkah itu merupakan simbol ketenteraman kehidupan manusia dan dianggap pemeluk Buddha memiliki banyak berkah. Mereka akan membawa pulang air tersebut ke rumah masing-masing setelah selesai menjalani rangkaian perayaan Trisuci Waisak. Selain air berkah, para biksu dan umat juga membawa api dharma dari sumber api alam dari Gunung Mrapen, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Telaga Warna Dieng: Keindahan Fenomena Alam di Dataran Tinggi Dieng 

Dataran tinggi Dieng memiliki sejuta keindahan yang memukau. Kawasan ini selain dihiasi hijaunya pepohonan dan candi bercorak Hindu yang indah, juga berdiam sebuah bingkisan alam nan indah bernama Telaga Warna Dieng. Berlokasi di Kecamatan Kejajar Wonosobo, telaga ini merupakan salah satu destinasi wisata andalan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Untuk mencapainya dari Wonosobo Anda dapat berkendara sekira 25 km.
Harmonisasi alam dengan udara yang sejuk dan bersih membuat suasana Telaga Warna Dieng begitu memikat. Anda juga akan merasakan suasana mistis yang hening disempurnakan oleh kabut putih dan pepohonan yang melingkupinya. Tidaklah lengkap menyambangi Dieng tanpa melihat langsung keindahan Telaga Warna Dieng. Selain itu dari sini Anda dapat melanjutkan mengunjungi Telaga Pengilon, Goa Sumur, Goa Semar, Goa Jaran, dan Kawah Sikendang ini.

Dinamakan Telaga Warna karena fenomena alam yang terjadi di tempat ini yaitu berupa pergantian warna air dari telaga tersebut. Terkadang berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena di dalam air tersebut terdapat kandungan sulfur cukup tinggi sehingga saat sinar Matahari mengenainya maka warna air telaga nampak berwarna warni. Anda bisa menyaksikan di tengah telaga terdapat letupan air mendidih seperti yang ada di Kawah Putih (Jawa Barat).

Keberadaan Telaga Warna Dieng juga sangat berguna bagi masyarakat sekitar. Mereka menggunakannya sebagai sumber irigasi untuk mengairi tanaman kentang yang menjadi komoditas utama di kawasan ini.
Anda dapat menyusuri tepian telaga ini dan ada juga balkon kecil untuk duduk bersantai sambil menikmati udara dan keanekaragaman fenomena alam yang mengelilinginya. Lokasi paling tepat untuk menikmati keindahan telaga ini selain berada tepat di hadapannya adalah Anda juga bisa mendaki ke puncak bukit yang memagari telaga. Kondisi menuju bukit ini cukup sempit dan licin dan hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Di sini, di antara rimbunnya pepohonan, Anda bisa menyaksikan keindahan telaga berwarna-warni ungu cantik, bergradasi dengan warna hijau di tengah, dan hijau pucat di pusat telaga. Dieng Plateau Theater menyediakan informasi lengkap mengenai kejadian alam di sekitar Dieng, jadi sempatkan untuk menyambanginya.

Tidak jauh dari bukit itu terdapat telaga cantik lainnya yatiu Telaga Pengilon. Telaga ini dapat digunakan untuk bercermin karena airnya yang jernih. Penduduk setempat menyebutkan bahwa danau ini bisa mengetahui isi hati manusia. Anda mungkin penasaran, mengapa tidak mencoba datang dan lihat rupa wajah Anda di air telaga ini.

Di sekitar Telaga Warna Dieng tedapat beberapa gua yang juga patut untuk dikunjungi seperti Gua Semar Pertapaan Mandalasari Begawan Sampurna Jati. Di depan gua ini terdapat arca wanita dengan membawa kendi. Gua ini juga memiliki kolam kecil yang airnya dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat kulit jadi lebih cantik. Ada juga Gua Sumur Eyang Kumalasari, dan Gua Jaran Resi Kendaliseto. Selain itu, ada pula Batu Tulis Eyang Purbo Waseso.  Gua-gua di sekitar kawasan ini sering dijadikan sebagai tempat meditasi.

Tidak ada komentar: