Jumat, 14 November 2014

Pandangan Islam terhadap KDRT


baitijannati – Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga’.
‘Perjuangan’ penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasar sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan. Di Provinsi Banten misalnya, hingga pertengahan tahun 2004 terdapat 5.426 perempuan yang dilaporkan menjadi korban tindak kekerasan (KTK). 90 persen diantaranya menjadi korban kekerasan karena berkerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri (Tempo Interaktif, 3/5/04).
Sedangkan data yang terdapat di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Kepolisian Kota Bandung menunjukkan bahwa selama 2003-2004 terdapat 60 kasus kekerasan fisik terhadap perempuan. Sementara data yang dihimpun oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) Kota Bandung memperlihatkan bahwa periode Mei–Desember 2004 sudah terdapat 36 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan perincian, 3 kasus perkosaan, 7 kasus kekerasan fisik, 26 kasus kekerasan psikis dan penelantaran ekonomi.
Mengingat korban kekerasan yang kebanyakan berjenis kelamin wanita itulah, para propagandis anti-KDRT beranggapan bahwa KDRT adalah masalah gender, yakni disebabkan adanya ketidak-adilan gender. Adanya subordinasi perempuan telah menempatkan mereka sebagai korban kekerasan oleh pria. Dan, ajaran agama (baca: Islam) dituduh melanggengkan budaya ini. Beberapa syariat Islam dicap sebagai upaya mensubordinasikan posisi wanita, sehingga menjadi pemicu bagi kaum pria untuk memperlakukan wanita semena-mena, yang berujung pada tindak kekerasan.
Menurut para propagandis ini, poligami dianggap sebagai bentuk penindasan terhadap wanita karena wanita ditempatkan pada posisi ‘nomor dua’. Menurut mereka jilbab juga merupakan bentuk pengekangan terhadap kebebasan wanita. Perintah istri untuk taat kepada suami pun dianggap  sebagai pendorong suami untuk berbuat sewenang-wenang dan memenjarakan wanita dalam rumah tangga. Kebolehan memukul istri atau anak dalam rangka mendidik mereka, dituduh sebagai penganiayaan. Ajaran sunat bagi anak perempuan juga dianggap bentuk kekerasan fisik terhadap perempuan. Sebaliknya, bagi kaum feminis, seorang perempuan tidak wajib untuk taat kepada suaminya, wanita tidak boleh dikekang untuk keluar rumah, suami harus membebaskan istrinya bekerja, pelacur dibela karena dianggap sebagai korban eksploitasi seksual, dll.
Para propagandis beranggapan, untuk menghapuskan KDRT maka perempuan harus disejajarkan dengan pria. Relasi suami-istri dalam kehidupan rumah tangga haruslah seimbang, di mana istri memiliki kewenangan yang tidak harus bersandar kepada suami. Dari sinilah maka arah perjuangan penghapusan KDRT adalah untuk memperjuangkan hak-hak wanita menuju gender equality.
Kekerasan = Kriminalitas
Kekerasan terhadap wanita adalah bentuk kriminalitas (jarimah). Pengertian kriminalitas (jarimah) dalam Islam adalah tindakan melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam dan termasuk kategori kejahatan. Sementara kejahatan dalam Islam adalah perbuatan tercela (al-qobih) yang ditetapkan oleh hukum syara’, bukan yang lain. Sehingga apa yang dianggap sebagai tindakan kejahatan terhadap wanita harus distandarkan pada hukum syara’.
Disinilah kekeliruan mendasar dari kelompok Feminis, yang menganggap kejahatan diukur berdasarkan kepada gender (jenis kelamin) korban atau pelakunya, bukan pada hukum syara’. Mereka membela pelacur, karena dianggap sebagai korban. Sebaliknya mereka menuduh poligami sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita, dengan anggapan wanita telah menjadi korbannya.
Padahal, kejahatan bukanlah perkara gender (jenis kelamin). Pasalnya, kejahatan bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Pelakunya juga bisa laki-laki dan bisa pula perempuan. Dengan demikian Islam pun menjatuhkan sanksi tanpa melihat apakah korbannya laki-laki atau perempuan. Tidak pula melihat apakah pelakunya laki-laki atau perempuan, tapi yang dilihat apakah dia melanggar hukum Allah SWT atau tidak.
Kekerasan juga bukan disebabkan sistem patriarki atau karena adanya subordinasi kaum perempuan, karena laki-laki maupun perempuan mempunyai peluang yang sama sebagai korban. Kalaupun data yang tersedia lebih banyak menyebutkan wanita sebagai korban, itu semata-mata karena data laki-laki sebagai korban kekerasan tidak tersedia. Dengan begitu kekerasan tidak ada kaitannya dengan penyetaraan hak laki-laki atau perempuan. Gagasan anti-KDRT dengan mengatasnamakan pembelaan terhadap hak-hak wanita pada akhirnya justru bias gender.

Lebih dari itu, kekerasan atau kejahatan sendiri dipicu oleh dua hal:

Pertama, faktor individu. Tidak adanya ketakwaan pada individu-individu, lemahnya pemahaman terhadap relasi suami-istri dalam rumah tangga, dan karakteristik individu yang temperamental adalah pemicu bagi seseorang untuk melanggar hukum syara’, termasuk melakukan tindakan KDRT.

Kedua, faktor sistemik. Kekerasan yang terjadi saat ini sudah menggejala menjadi penyakit sosial di masyarakat, baik di lingkungan domestik maupun publik. Kekerasan yang terjadi bersifat struktural yang disebabkan oleh berlakunya sistem yang tidak menjamin kesejahteraan masyarakat, mengabaikan nilai-nilai ruhiyah dan menafikkan perlindungan atas eksistensi manusia. Tak lain dan tak bukan ialah sistem kapitalisme-sekular yang memisahkan agama dan kehidupan.

Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi.
Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dll. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.
Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasai pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.
Untuk persoalan sistemik ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh.
Perlu pula diingat, kejahatan bukan sesuatu yang fitri (ada dengan sendirinya) pada diri manusia. Kejahatan bukan pula profesi yang diusahakan oleh manusia,  juga bukan penyakit yang menimpa manusia. Tapi kejahatan adalah setiap hal yang melanggar peraturan Allah SWT, siapapun pelakunya, baik laki-laki maupun wanita.

Sanski Pelaku Jarimah
Kekerasan terjadi baik di lingkungan keluarga maupun di luar rumah tangga. Dan semua bentuk kriminalitas, baik di lingkup domestik maupun publik akan mendapatkan sanksi sesuai jenis kriminalitasnya, baik pelakunya laki-laki maupun perempuan. Semisal bagi orang yang menuduh wanita berzina tanpa bukti, pelakunya dihukum oleh Islam. Perkara ini termasuk dalam hukum qodzaf, dimana pelakunya bisa dihukum 80 kali cambukan  (Qs. an-Nûr [24]: 4).
Pelacuran merupakan tindakan kriminalitas, dimana wanita yang melakukannya akan diberikan sanksi hukum, demikian juga lelakinya yang pezina. Islam tidak memandang apakah korban atau pelakunya laki-laki atau perempuan. Pelacuran, bagaimanapun tetap perbuatan tercela, tidak perduli laki-laki atau perempuan.
Sebaliknya, poligami bukanlah bentuk kekerasan terhadap wanita karena tidak dilarang oleh syariat Islam. Tapi menyakiti wanita dengan memukulnya sampai terluka, adalah merupakan kekerasan terhadap wanita, baik dia monogami atau poligami. Karena memukul wanita sampai dirinya terluka adalah perbuatan melanggar aturan Allah SWT.
Berdasarkan syariat Islam ada beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan yang menimpa wanita dimana pelakunya harus diberikan sanksi yang tegas. Namun sekali lagi perlu ditegaskan kejahatan ini bisa saja menimpa laki-laki, pelakunya juga bisa laki-laki atau perempuan. 
Berikut ini beberapa perilaku jarimah dan sanksinya menurut Islam terhadap pelaku:

1. Qadzaf, yakni melempar tuduhan. Misalnya menuduh wanita baik-baik  berzina tanpa bisa memberikan bukti yang bisa diterima oleh syariat Islam. Sanksi hukumnya adalah 80 kali cambukan. Hal ini berdasarkan firman Alah SWT: “Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat saksi, maka deralah 80 kali.” (Qs. an-Nûr [24]: 4-5).

2. Membunuh, yakni ‘menghilangkan’ nyawa seseorang. Dalam hal ini sanksi bagi pelakunya adalah qishos (hukuman mati). Firman Allah SWT: “Diwajibkan atas kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (Qs. al-Baqarah [2]: 179).

3. Mensodomi, yakni menggauli wanita pada duburnya. Haram hukumnya sehingga pelaku wajib dikenai sanksi. Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki (homoseksual) dan mendatangi istrinya pada duburnya.” Sanksi hukumnya adalah ta’zir, berupa hukuman yang diserahkan bentuknya kepada pengadilan yang berfungsi untuk mencegah hal yang sama terjadi.

4. Penyerangan terhadap anggota tubuh. Sanksi hukumnya adalah kewajiban membayar diyat (100 ekor unta), tergantung organ tubuh yang disakiti. Penyerang terhadap lidah dikenakan sanksi 100 ekor unta, 1 biji mata 1/2 diyat (50 ekor unta), satu kaki 1/2 diyat, luka yang sampai selaput batok kepala 1/3 diyat, luka dalam 1/3 diyat, luka sampai ke tulang dan mematahkannya 15 ekor unta, setiap jari kaki dan tangan 10 ekor unta, pada gigi 5 ekor unta, luka sampai ke tulang hingga kelihatan 5 ekor unta (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).

5. Perbuatan-perbuatan cabul seperti berusaha melakukan zina dengan perempuan (namun belum sampai melakukannya) dikenakan sanksi penjara 3 tahun, ditambah jilid dan pengusiran. Kalau wanita itu adalah orang yang berada dalam kendalinya, seperti pembantu rumah tangga, maka diberikan sanksi yang maksimal

6. Penghinaan. Jika ada dua orang saling menghina sementara keduanya tidak memiliki bukti tentang faktanya, maka keduanya akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun (lihat Nidzam al-’Uqubat, Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki).

Jarimah vs Ta’dib
Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).
Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.
Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.
Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ No 660, 661).
Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Qs. al-Baqarah [2]: 228).
Relasi Suami-Istri dalam Rumah Tangga
Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah [9]: 71).
Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19).
Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka.  Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan.  Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.
Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Wallahu’alam bi shawab.

Written by :  Asri Supatmiati
https://baitijannati.wordpress.com/2007/02/02/pandangan-islam-terhadap-kekerasan-dalam-rumah-tangga/

Tidak ada komentar: