Sebenarnya
pada era tahun 1980-1990 an adalah era dimana kejayaan pengobatan
medis. Anggapan pengobatan alternatif adalah pengobatan yang tidak
ilmiah, tanpa didasari bukti-bukti empiris, tanpa melalui proses
penelitian dan tidak melalui proses pendidikan berjenjang. Bahkan pada
waktu itu ada istilah kuno, sudah tidak jamannya lagi memakai pengobatan
alternatif. Sayangnya keadaan ini dicemari oleh perilaku dokter dan
rumah sakit yang profitable oriented, pabrik farmasi menyusul dengan
persaingan harga obat yang luar biasa. Efek dominonya adalah bisnis
asuransi kesehatan menjadi laris manis. Pameo kesehatan yang tak
ternilai menjadi kesehatan mahal harganya.
Keluarga
saya waktu itu juga punya dokter keluarga ahli spesialis penyakit dalam
yang selalu memonitor kesehatan kami, terutama bapak yang menderita
penyakit komplikasi jantung, batu ginjal, hipertensi, rematik dan tumor
di bagian kulit di dadanya. Sedangkan saya kebetulan mendapat genetika
dari bapak lengkap dengan penyakitnya mulai dari kolesterol tinggi,
tumor jinak di ketiak, cristal ginjal, maag, kista sampai pembengkakan
kelenjar payudara.
Dokter
dan rumah sakit adalah sahabat kami, dengan harapan kami ingin hidup
sehat. Keraguan dunia medis dimulai ketika dokter keluarga kami
meninggal dunia karena kanker otak membuat kami berpindah-pindah dari
satu dokter ke dokter yang lain. Kami jadi memahami bahwa tidak semua
dokter seperti dokter keluarga kami. Begitulah dokter juga manusia
lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya dalam melaksanakan
perkerjaannya.
Dari proses yang terjadi akhirnya saya mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Tidak semua dokter pintar. Karena di Fakultas kedokteran ada murid yang
berprsatasi dan ada yang tidak, mungkin bisa jadi ada yang katrolan.
2.
Tidak semua dokter mempunyai niat baik yang sama dan mengutamakan
kepentingan kemanusiaan, ada juga yang lebih pada kemanusiaan dengan
berbanding lurus kepentingan materialistiknya.
3.
Sebagian besar rumah sakit bukanlah lembaga sosial non profit yang
mengedepankan pelayanan. Contohnya adalah berbagai standar-standar
pelayanan dan administrasi yang diterapkan rumah sakit saat menangani
pasiennya. Terutama saat tidak mampu membayar uang pangkal, atau
pengambilan jenasah yang belum selesai administrasinya.
4.
Dokter juga menerapkan uji coba bagi pasiennya. Trial and error juga
berlaku dalam proses pengobatan, baik diagnosa maupun jenis obat yang
digunakan. Kembali pada nomor 1 bahwa tidak semua dokter pintar.
5.
Pengobatan medis menganggap dirinya yang terbaik sehingga kadang-kadang
mengganggap semuanya pasti benar dan tidak bisa diganggu gugat.
Beberapa kasus jika ditanya jawabannya adalah ya memang harus begitu,
pokoknya begitu. walah.
6. Biaya Pengobatan dokter selain di Puskesmas mahal, bahkan pakai mahal sekali sebagai imbal balik proses penelitian dsb.
Sebenarnya
alasan di atas adalah manusiawi, dan saya tidak menutup kemungkinan
berlaku juga sebaliknya. Dokter bukanlah dewa dan sebagian besar
fenomena di atas berlaku di dunia medis.
Saya
adalah pasien. Sebagai pasien saya adalah manusia berhak untuk memilih
yang terbaik buat diri saya. Saya mulai mengumpulkan rekomendasi dari
berbagai teman tentang pengobatan alternatif. berbagai jenispengobatan
dan metode saya coba, mulai dari pijet, herba, mistis, bekam, terapi
air panas, urine, totok darah, refleksi.
Isenknya
saya kadang kelewatan, saya suka belajar dan mencoba apa yang mereka
kerjakan. Saya lihat prosentase tingkat keberhasilan, efek samping
negatif dan positif pengobatan alternatif. Pada tingkat pemahaman
selanjutnya masing-masing jenis pengobatan alternatif punya spesialis
untuk penyakit tertentu, jadi tidak bisa disamaratakan. Sama halnya
antibiotik saja jenisnya beda-beda tetapi efektivitas penggunaannya
berbeda juga sesuai dengan jenis penyakitnya. Semua yang saya lakukan
hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu. parah.
Dari pengalaman yang saya lakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Dokter dan pelaku alternatif adalah sama-sama manusia. Lengkap dengan kepentingan, kekurangan dan kelebihannya.
2. Proses dokter bisa melalui jalur pendidikan formal, bisa melalui tes dengan didukung biaya besar.
3.
Pendidikan di alternatif juga ada proses pendidikannya, terutama
melalui spiritual. Bahkan untuk pendidikan spritual lebih parah, tidak
hanya harus pintar tetapi berbakat baik secara kejiwaan dan batin.
Proses ini membutuhkan seleksi yang sangat ketat, dan tidak semua bisa
lolos. Lama jenjang pendidikan di spritual mencapai puluhan tahun sesuai
dengan tingkatannya. sama ya dengan dokter spesialis. Dalam lingkup ini
sering diistilahkan dengan paranormal. Karena biasanya paranormal
mempunyai kemampuan untuk mengobati. Pengobatan dengan caranya
masing-masing sesuai dengan bidang spiritual yang digelutinya.
4.
pengobatan alternatif biayanya murah dan mudah dijangkau karena banyak
terdapat di sekitar kita. Biaya pendidikannya tidak mahal, hanya
membutuhkan kemauan dan ketekunan. Pengobatan alternatif pada tingkatan
yang tinggi justru tidak profit oriented. Kalau ditemukan alternatif
mahal maka kemampuan dan efektifitasnya menjdai dipertanyakan. Pada
tingkatan tinggi berarti sudah pada proses pengolahan nilai kemanusiaan
sehingga biasanya mereka sudah bukan mengejar nilai-nilai duniawi,
tetapi lebih penekanan pada nilai kemanusiaan. Tidak menutup kemungkinan
pasien memberikan lebih karena manfaat yang dia terima.
5.
Dokter bukanlah dewa sehingga ada juga penyakit yang secara medis bisa
disembuhkan, dan ada juga yang tidak dapat disembuhkan. Bahkan
kadang-kadang secara alternatif itu adalah sederhana, seprti maag,
migren, vertigo dan syaraf kejepit. Easy and simple.
Tuhan
memberikan penyakit dan memberikan caranya untuk sembuh. Semua sudah
diatur, dan pengobatan cara apapun hanyalah sebuah jalan. Berbagai cara
bisa dilakukan manusia untuk sembuh, kembali kepada keyakinan si pasien
dan keluarganya. semuanya adalah pilihan. Apapun yang dipilihnya untuk
jalan pengobatan pilihan adalah kesiapan dengan segala konsekwensinya.
Kepastian hukum hanyalah buatan manusia tetapi kehidupan. manusia hanya
bisa berusaha dan pada akhirnya kembali kepada kuasa Tuhan untuk sembuh
atau tidak.
Medis
dan alternatif hanyalah pilihan. Dan semuanya kembali kepada pelaku
medis dan alternatif, manusianya, niatnya, tujuannya dan maksudnya
hanya si pengobat yang tahu. Sebagai pasien dan secara manusia kita
mesti pandai-pandai membaca situasi dan psikologis terapis kita.
Siapakah dia, baik atau tidakkah niatnya, referensi tingkat keberhasilan
penyembuhannya.
Akhirnya
kembali bahwa metode apapun proses pengobatan yang dilalui adalah
pilihan, mengenai pelaksanaannya kembali pada sisi humanisme si
pengobat (medis dan alternatif). baik atau buruk kembali kepada niat,
memerlukan jiwa besar mengakui bahwa setiap pengobat mempunyai
keterbatasan dan bisa merekomendasikan bahwa tidak mampu. Silahkan
berobat ke tempat lain.
Tetapi
pada pengobatan dasar dan mengetahui kondisi awal saya masih menyetujui
hasil laboratorium sebagai pegangan awal, walaupun belum tentu setuju
dengan hasil diagnosa dokternya.
pengobatan
bersama-sama dapat dilakukan dengan penghargaan yang sama dan tidak
menjatuhkan, saling menghargai keberadaan masing-masing. Kritik
membangun dalam pencapaian tujuan besar “nilai kesehatan dan
kemanusiaan” menjadi landasan untuk melangkah bersama-sama dan
mewujudkan manusia yang sehat lahir batin menuju masyarakat yang adil
dan sejahtera, sesuai pembukaan UUD ‘ 45 alinea 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar