Senin, 17 November 2014

Alternatif dan Medis adalah Pilihan Lengkap dengan Resikonya

Tulisan ini adalah sebuah tanggapan atas  tulisan berikut ini.  tulisan dari kompasianer Aslan Z. Tulisan Saudara Aslan  mempertanyakan apakah garansi dan payung hukum yang diberikan bagi penggunanya. 
Sebenarnya pada era tahun 1980-1990 an adalah era dimana kejayaan pengobatan medis. Anggapan pengobatan alternatif adalah pengobatan yang tidak ilmiah, tanpa didasari bukti-bukti empiris, tanpa melalui proses penelitian dan tidak melalui proses pendidikan berjenjang. Bahkan pada waktu itu ada istilah kuno, sudah tidak jamannya lagi memakai pengobatan alternatif. Sayangnya keadaan ini dicemari oleh perilaku dokter dan rumah sakit yang profitable oriented, pabrik farmasi menyusul dengan persaingan harga obat yang luar biasa. Efek dominonya adalah bisnis asuransi kesehatan menjadi laris manis. Pameo kesehatan yang tak ternilai menjadi kesehatan mahal harganya. 
Keluarga saya waktu itu juga punya dokter keluarga ahli spesialis penyakit dalam yang selalu memonitor kesehatan kami, terutama bapak yang menderita penyakit komplikasi jantung, batu ginjal, hipertensi, rematik dan tumor di bagian kulit di dadanya. Sedangkan saya kebetulan mendapat genetika dari bapak lengkap dengan penyakitnya mulai dari kolesterol tinggi, tumor jinak di ketiak, cristal ginjal, maag, kista sampai pembengkakan kelenjar payudara. 
Dokter dan rumah sakit adalah sahabat kami, dengan harapan kami ingin hidup sehat. Keraguan dunia medis dimulai ketika dokter keluarga kami meninggal dunia karena kanker otak membuat kami berpindah-pindah dari satu dokter ke dokter yang lain. Kami jadi memahami bahwa tidak semua dokter seperti dokter keluarga kami.  Begitulah dokter juga manusia lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya dalam melaksanakan perkerjaannya. 
Dari proses yang terjadi akhirnya saya mengambil kesimpulan sebagai berikut : 
1. Tidak semua dokter pintar. Karena di Fakultas kedokteran ada murid yang berprsatasi dan ada yang tidak, mungkin bisa jadi ada yang katrolan. 
2. Tidak semua dokter mempunyai niat baik yang sama dan mengutamakan kepentingan kemanusiaan, ada juga yang lebih pada kemanusiaan dengan berbanding lurus kepentingan materialistiknya. 
3.  Sebagian besar rumah sakit bukanlah lembaga sosial non profit yang mengedepankan pelayanan. Contohnya adalah  berbagai standar-standar pelayanan dan administrasi yang diterapkan rumah sakit saat menangani pasiennya. Terutama saat tidak mampu membayar uang pangkal, atau pengambilan jenasah yang belum selesai administrasinya. 
4. Dokter juga menerapkan uji coba bagi pasiennya. Trial and error juga berlaku dalam proses pengobatan, baik diagnosa maupun jenis obat yang digunakan. Kembali pada nomor 1 bahwa tidak semua dokter pintar. 
5. Pengobatan medis menganggap dirinya yang terbaik sehingga kadang-kadang mengganggap semuanya pasti benar dan tidak bisa diganggu gugat. Beberapa kasus jika ditanya jawabannya adalah ya memang harus begitu, pokoknya begitu. walah. 
6. Biaya Pengobatan dokter selain di Puskesmas mahal, bahkan pakai mahal sekali sebagai imbal balik proses penelitian dsb. 
Sebenarnya alasan di atas adalah manusiawi, dan saya tidak menutup kemungkinan berlaku juga sebaliknya. Dokter bukanlah dewa dan sebagian besar fenomena di atas berlaku di dunia medis. 
Saya adalah pasien. Sebagai pasien saya adalah manusia berhak untuk memilih yang terbaik buat diri saya.  Saya mulai mengumpulkan rekomendasi dari berbagai teman tentang pengobatan alternatif. berbagai jenispengobatan dan metode  saya coba, mulai dari pijet, herba, mistis, bekam, terapi air panas, urine, totok darah, refleksi. 
Isenknya saya kadang kelewatan, saya suka belajar dan mencoba apa yang mereka kerjakan. Saya lihat prosentase tingkat keberhasilan, efek samping negatif dan positif pengobatan alternatif. Pada tingkat pemahaman selanjutnya masing-masing jenis pengobatan alternatif punya spesialis untuk penyakit tertentu, jadi tidak bisa disamaratakan.  Sama halnya antibiotik saja jenisnya beda-beda tetapi efektivitas penggunaannya berbeda juga sesuai dengan jenis penyakitnya.  Semua yang saya lakukan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu. parah. 
Dari pengalaman yang saya lakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 
1. Dokter dan pelaku alternatif adalah sama-sama manusia. Lengkap dengan kepentingan, kekurangan dan kelebihannya. 
2. Proses dokter bisa melalui jalur pendidikan formal, bisa melalui tes dengan didukung biaya besar. 
3. Pendidikan di alternatif juga ada proses pendidikannya, terutama melalui spiritual. Bahkan untuk pendidikan spritual lebih parah, tidak hanya harus pintar tetapi berbakat baik secara kejiwaan dan batin. Proses ini membutuhkan seleksi yang sangat ketat, dan tidak semua bisa lolos. Lama jenjang pendidikan di spritual mencapai puluhan tahun sesuai dengan tingkatannya. sama ya dengan dokter spesialis. Dalam lingkup ini sering diistilahkan dengan paranormal. Karena biasanya paranormal mempunyai kemampuan untuk mengobati.  Pengobatan dengan caranya masing-masing sesuai dengan bidang spiritual yang digelutinya. 
4. pengobatan alternatif biayanya murah dan mudah dijangkau karena banyak terdapat di sekitar kita. Biaya pendidikannya tidak mahal, hanya membutuhkan kemauan dan ketekunan. Pengobatan alternatif pada tingkatan yang tinggi justru tidak profit oriented. Kalau ditemukan alternatif mahal maka kemampuan dan efektifitasnya menjdai dipertanyakan. Pada tingkatan tinggi berarti sudah pada proses pengolahan nilai kemanusiaan sehingga biasanya mereka sudah bukan mengejar nilai-nilai duniawi, tetapi lebih penekanan pada nilai kemanusiaan. Tidak menutup kemungkinan pasien memberikan lebih karena manfaat yang dia terima. 
5. Dokter bukanlah dewa sehingga ada juga penyakit yang secara medis bisa disembuhkan, dan ada juga yang tidak dapat disembuhkan. Bahkan kadang-kadang secara alternatif itu adalah sederhana, seprti maag, migren, vertigo dan syaraf kejepit. Easy and simple. 
Tuhan memberikan penyakit dan memberikan caranya untuk sembuh. Semua sudah diatur, dan pengobatan cara apapun hanyalah sebuah jalan. Berbagai cara bisa dilakukan manusia untuk sembuh, kembali kepada keyakinan si pasien dan keluarganya. semuanya adalah pilihan. Apapun yang dipilihnya untuk jalan pengobatan pilihan  adalah kesiapan dengan segala konsekwensinya. Kepastian hukum hanyalah buatan manusia tetapi kehidupan. manusia hanya bisa berusaha dan pada akhirnya kembali kepada kuasa Tuhan untuk sembuh atau tidak. 
Medis dan alternatif hanyalah pilihan. Dan semuanya kembali kepada pelaku medis dan alternatif,  manusianya, niatnya, tujuannya dan maksudnya hanya si pengobat  yang tahu.  Sebagai pasien dan secara manusia kita mesti pandai-pandai membaca situasi dan psikologis terapis kita. Siapakah dia, baik atau tidakkah niatnya, referensi tingkat keberhasilan penyembuhannya. 
Akhirnya kembali bahwa metode apapun proses pengobatan yang dilalui  adalah pilihan,  mengenai pelaksanaannya kembali pada sisi humanisme si pengobat (medis dan alternatif). baik atau buruk kembali kepada niat, memerlukan jiwa besar mengakui bahwa setiap pengobat mempunyai keterbatasan dan bisa merekomendasikan bahwa tidak mampu. Silahkan berobat ke tempat lain. 
Tetapi pada pengobatan dasar dan mengetahui kondisi awal saya masih menyetujui hasil laboratorium sebagai pegangan awal, walaupun belum tentu setuju dengan hasil diagnosa dokternya. 
pengobatan bersama-sama dapat dilakukan dengan penghargaan yang sama dan tidak menjatuhkan, saling menghargai keberadaan masing-masing. Kritik membangun dalam pencapaian tujuan besar “nilai kesehatan dan kemanusiaan” menjadi landasan untuk melangkah bersama-sama dan mewujudkan manusia yang sehat lahir batin menuju masyarakat yang adil dan sejahtera, sesuai pembukaan UUD ‘ 45 alinea 4. 

Tidak ada komentar: